Mengenai Saya

Foto saya
Aku ingin seperti Padi, semakin ia berisi, semakin ia merunduk...

Rabu, 04 Januari 2012

Islam dan Pendidikan Anak II

Sebuah hadis Nabi menyebutkan bahwa siapa saja yang mengenal diri (nafs)-nya, maka ia akan mengenal Tuhan (rabb)-nya. Apa yang disinyalir hadis diatas tidaklah mudah untuk diwujudkan, sekurang-kurangnya karena dua alasan : Pertama, manusia termasuk makhluk multidimensional; dan Kedua, untuk memahami yang multidimensional itu mempersyaratkan seseorang harus mencapai taraf insan kamil atau manusia sempurna. Dengan demikian seseorang tidak akan memahami dirinya kecuali sepadan dengan kualitas kemanusiannya. Dalam kenyataan objektif, kita dapat menyaksikan bukti-bukti yang jelas bahwa manusia adalah makhluk yang mulia juga makhluk berbudaya. Manusia juga merupakan makhluk pedagogic dan juga khalifah Allah dimuka bumi.[1]
Berbicara tentang makhluk bernama manusia ini, berarti kita membicarakan puncak kesempurnaan ciptaan Tuhan. Siapapun yang beriman, berilmu, dan mempelajari tentang manusia pasti kagum sepenuhnya pada tak terhitungnya potensi yang terpendam dalam diri manusia. Sebutlah misalnya, dalam kemampuan untuk berkarya, berkomuniskasi, berkelompok dan lainnya. Dalam kemampuan berkarya, betapa banyak karya monumental yang telah dihasilkan oleh manusia, mulai dari kertas, kursi, mobil bahkan bangunan-bangunan yang ditinggalinya. Dalam hal berkomunikasi, kita tidak akan pernah kehabisan rasa heran dan kagum menyaksikan bagaimana manusa menciptakan symbol berupa kata, angka, lukisan, dan bunyi serta isyarat-isyarat yang dapat saling dikomunikasikan satu sama lain.[2]
Dikatakan sebelumnya bahwa manusia memiliki potensi yang dasar yang bisa dikemangkan, sehingga manusia dikenal dengan makhluk pedagogic. Makhluk pedagogik ini adalah makhluk yang dapat dididik sekaligus makhluk yang dapat melaksanakan aktifitas pendidikan.
Rasulullah SAW. Bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah :
“Tidak seorangpun dilahirkan kecuali mempunyai fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
Hadist diatas memberi penjelasan bahwa seorang manusia lahir dalam keadaan fitrah, yakni dibekali naluri keberagamaan tauhid. Tidak seorangpun bayi yang terlahir kedunia membawa dosa. Fitrah merupakan potensi yang baik yang perlu diasah dan dikembangkan. Kegiatan mengasah dan mengembangkan fitrah melalui proses tranformasi nilai itu berlangsung dari generasi tua kepada generasi yang lebih muda. Dalam terminology yang praktis, hal itu dinamakan pendidikan dalam makna yang luas. Allah berfirman :
وَاللَّهُ أَخْرَجَكُمْ مِنْ بُطُونِ أُمَّهَاتِكُمْ لَا تَعْلَمُونَ شَيْئًا وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ  [النحل : 78]
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. Al-Nahl [16] : 78)
Dari pernyataan al-Qur’an diatas, dapat dibingkai sebuah pengertian bahwa manusia diliharkan dengan membawa potensi yang bisa dkembangkan (fitrah) dan manusia dilahirkan dengan tidak membawa pengetahuan apapun. Namun demikian, manusia dibekali alat untuk mencapai pengetahuan seperti indra pendengaran, penglihatan, dan hati. Karena itu usaha-usaha pendidikan (tarbiyah) bagi manusia menjadi suatu kebutuhan pokok guna menunjang pelaksanaan amanat yang dilimpahkan oleh Allah kepadanya. Ini merupakan kebutuhan manusia terhadap pendidikan yang bersifat individual.
Syaikh Mustafa al-Ghulayani memaknai pendidikan sebagaimana dikutip oleh Ismail SM, M.Ag sebagai berikut[3] :
التربية هي غرس الاخلاق الفاضلة في نفوس الناشئين وسقيها بماء الإرشاد والنصيحة حتى تصبح ملكة من ملكات النفس ثم تكون ثمرتها الفاضلة والخير وحب العمل الوطن.
[Pendidikan adalah menanamkan akhlaq yang mulia dalam jiwa murid serta menyiraminya dengan petunjuk dan nasehat, sehingga menjadi kecenderungan jiwa yang membuahkan keutamaan, kebaikan serta cinta tanah air].
Dalam pendidikan anak terdapat kesamaan pandangan bahwa esensi dari segala usaha pendidikan adalah menagantarkan agar tumbuh dan berkembang menuju kematangan, kemandirian, kedewasaan. Dalam proses ini, anak adalah merupakan sentralnya. Proses pendidikan yang sejati (genuine education) selalu menjadikan anak sebagai focus, sebagai sentral yang ditempatkan ditengah. Sebaliknya pendidikan yang mengabaikan anak, yang menempatkan anak dipinggiran atau ibarat “pelengkap penderita”, boleh dikatakan sebagai pendidikan yang artifisial karena telah kehilangan misi dasarnya yaitu mengembangkan potensi anak.[4]



[1] Drs. H. Baharuddin, M.Pdi. dkk, Pendidikan Humanistik (Konsep, Teori, dan Aplikasi Praksis dalam Dunia Pendidikan), (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media Group, 2007), hlm. 25
[2] Opcit, hlm. 26
[3] Ismail SM, M.Ag, Strategi Pembelajaran Agama Islam Berbasis PAIKEM (Semarang : Rasail Media Grup, 2008) hlm. 35
[4] Prof. DR. Dedi Supriadi, Membangun Bangsa Melalui Pendidikan (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 40

Selasa, 03 Januari 2012

Bahasa dan Filsafat Bahasa


1.      Hakikat Bahasa
Sejak zaman dahulu, bahkan semenjak zaman manusia diciptakan, bahasa merupakan salah satu aspek yang tidak dapat dipisahkan dari seluruh kehidupan umat manusia. karena itulah, sampai saat ini bahasa merupakan salah satu persoalan yang sering dimunculkan dan dicarikan jawabannya. Mulai dari pertanyaan “apa itu bahasa?” sampai dengan “dari mana asal bahasa itu?”.
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian bahasa terbagi kedalam tiga batasan, yaitu ; 1) system lambang bunyi berartikulasi (yang dihasilkan alat-alat ucap) yang bersifat sewenang-wenang (arbiter) dan konvensional yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran; 2) perkataan-perkataan yang dipakai oleh seluruh bangsa (suku bangsa, daerah, Negara, dsb); 3) percakapan (perkataan) yang baik: sopan santun, tingkah laku yang baik.[1]
Salah satu aspek penting dalam bahasa adalah fungsi bahasa. Secara umum fungsi bahasa adalah sebagai alat komunikasi, bahkan fungsi ini sering dipandang sebagai fungsi utama dari bahasa.
Terdapat beberapa pendapat mengenai fungsi dari bahasa salah satunya adalah pendapat Karl Raimund Popper, salah seorang filosof Barat abad ke-20 mengatakan bahwa bahasa memiliki empat fungsi,[2] antara lain :
a.       Fungsi Eksprekstif, merupakan proses pengungkapan situasi dalam keluar. Pada manusia menjadi suatu ungkapan diri pribadi.
b.      Fungsi Signal, merupakan level tinggi sekaligus mengadakan fungsi ekspretif. Pada manusia tanda menyebabkan reaksi, sebagai jawaban atas tanda.
c.       Fungsi Deskriptif, mengadakan fungsi ekspretif sekaligus signal. Ciri khas fungsi ini ialah bahwa bahasa itu menjadi suatu pernyataan yang bisa benar, bisa juga salah.
d.      Fungsi Argumental, bahasa merupakan alat atau media untuk menyalurkan atau mengungkapkan gagasan manusia, termasuk dalam berargumentasi didalam mempertahankan suatu pendapat dan juga untuk meyakinkan orang lain dengan alasan-alasan yang valid dan logis.
2.      Hubungan bahasa dan Filsafat
Sebagaimana kita tahu bahwa terdapat beberapa fungsi bahasa, namun demikian bahasa tidak saja sebagai alat komunikasi untuk mengantarkan proses hubungan antarmanusia, bahkan bahasa mampu mengubah seluruh kehidupan umat manusia. Artinya, bahwa bahasa merupakan aspek terpenting dalam kehidupan manusia. Sekelompok manusia atau bangasa yang hidup dikurun waktu tertentu tidak akan jika dalam bangsa tersebut tidak terdapat bahasa. Kearifan Melayu mengatakan : “Bahasa adalah sebuah cerminbudaya bangsa, hilang budaya maka hilang bangsa”. Jadi bahasa adalah sine qua non, sesuatu yang mesti ada bagi kebudayaan dan masyarakat.[3]
Karena itu siapapun orangnya akan senantiasa melakukan relasi yang erat dengan bahasa. Seorang folosof misalnya, ia akan senantiasa bergantung pada bahasa. Fakta telah menunjukkan bahwa ungkapan pikiran dan hasil perenungan filosofis seseorang tidak akan dapat dilakukan tanpa bahasa.  Bagaimanapun alat utama dari filsafat adalah bahasa. Tanpa bahasa, seorang filosof (ahli filsafat) tidak mungkin bisa mengungkapkan hasil-hasi perenungan kefilsafatannya kepada orang lain. Dan tanpa bahasa pula, orang lain tidak akan mampu memahami buah pikiran kefilsafatan.[4]
3.      Fisafat Bahasa
Hadirnya istilah filsafat bahasa dalam dunia bahasa dapat dikatakan sebagai suatu hal yang baru. Istilah ini muncul bersamaan dengan kecenderungan filsafat abad ke-20 yang bersifat logosentris. Oleh karena itu sangat wajar apabila ditemukan sulit ditemukan pengertian yang pasti mengenai apa sebetulnya yang dimaksud dengan filsafat bahasa.
Berdasarkan realitas tersebut, maka sebelum kita menyetujui salah satu definisi atau pengertian, ada baiknya terlebih dahulu dilihat beberapa pandangan para ahli mengenai filsafat bahasa.
Verhaar telah menunjukkan dua jalan yang terkandung dalam filsafat bahasa, yaitu : 1) filsafat mengenai bahasa; dan 2) filsafat berdasarkan bahasa. Dalam hubungannya dengan pengertian nomor satu, seorang filosof sudah tentu mempunyai sebuah system yang dipakainya untuk dapat mendekati bahasa sebagai suatu objek khusus, seperti ia dapat mendekati objek-objek lain dengan berpangkal pada system yang sama. Yaitu objek pengertian filsafat bahasa sebagai “filsafat mengenai bahasa”, Verhaar memberikan contoh ilmu bahasa, dan psikologi bahasa sebagai objek kajiannya.[5]
 Filsafat bahasa yang diartikan sebagai “filsafat” berdasarkan bahasa mengandung pengertian bahwa seorang filosof itu ingin berfilsafat dan mencari sebuah sumber yang dapat dijadikan titik pangkal yang bias menyediakan bahan-bahan yang diperlukan. Verhaar memberikan dua pengertian “bahasa” yang dijadikan titik pangkal untuk berfilsafat dalam filsafat berdasarkan bahasa ini, yaitu bahasa yang diartikan eksklusif dan bahasa yang diartikan inklusif. Bahasa dalam pengertian eksklusif ialah “bahasa” yang didefinisikan sebagai alat komunikasi sehari-hari. Jadi, bahasa tu mencerminkan semacam visi kodrati spontan yang dapat dipakai sebagai sumber berharga dalam filsafat. Sedangkan yang dimaksud dengan bahasa dalam pengertian inklusif ialah bahasa yang tidak digunakan dalam arti sehari-hari dalam komunikasi, seperti bahasa tari, bahasa music, bahasa cinta, bahkan bahasa alam semesta.[6]
Masih menurut Vehaar, Bahasa dalam arti eksklusif, merupakan suatu pelukisan yang dapat dipakai sebagai pedoman engantar umum atas aliran “filsafat analitik” (analisis bahasa) yang lahir di Inggris. Sedangkan untuk bahasa yang diartikan secara inklusif merupakan arahan yang ditunjukkan oleh aliran hermeneutika.
Menurut Rizal Mustansyir, sebagaimana dikutip oleh Asep Ahmad Hidayat bahwa filsafat bahasa adalah suatu penyelidikan secara mendalam terhadap bahasa yang dipergunakan dalam filsafat, sehingga dapat dibedakan pernyataan filsafat yang mengandung makna (meaningfull) dan yang tidak bermakna (meaningless).[7]
Menurut Asep Ahmad Hidayat, didalam menemukan pengertian filsafat perlu adanya pendekatan dari dua pandangan, yaitu filsafat sebagai sebuah ilmu dan filsafat sebagai sebuah metode. Oleh karena itu, pengertian filsafat bahasa pun bisa didekati dari dua pandangan tersebut. Jika pengertian filsafat bahasa dilihat sebagai sebuah ilmu, maka filsafat bahasa ialah kumpulan hasil pemikiran para filosof mengenai hakikat bahasa yang disusun secara sistematis untuk dipelajari dengan menggunakan metode tertentu. Namun, jika filsafat bahasa diartikan sebagai metode berfikir, maka ia bias diartikan sebagai metode berfikir secara mendalam (radikal), logis, dan universal mengenai hakikat bahasa.[8]
Sama halnya dengan ilmu pengetahuan yang lain, filsafat bahasa memiliki objek material atau sesuatu yang bisa dijadikan sasaran untuk diteliti ataupun diperhatikan dan dipelajari. Jika objek material filsafat adalah semua yang ada (al-maujudah), baik yang dapat dirasakan maupun yang tidak, baik yang konkret maupun yang abstrak, maka objek material filsafat bahasa adalah bahasa itu sendiri secara umum. Hal yang membedakannya dengan ilmu bahasa (linguistic) dan yang lainnya ialah terletak pada objek formalnya yaitu mengenai sudut pandang atau pandangan umum yang menyeluruh terhadap objek materialnya dilihat dari perspektif falsafi. Singkatnya, sudut pandang terhadap bahasa dilihar dari aspek ontology, epistemology, dan aksiologi bahasa.
4.      Manfaat Filsafat Bahasa
Berfilsafat ialah berusaha menemukan kebenaran (realitas yang sesungguhnya) tentang segala sesuatu dengan cara berfikir serius. Kecakapan berfikir serius sangat diperlukan oleh setiap orang. Banyak persoalan yang tidak dapat diselesaikan sampai saat ini. Hal ini dikarenan persoalan tersebut tidak ditangani secara serius, hanya diwacanakan saja. Korupsi misalnya, sampai saat ini yang menjadi penyakit bangsa yang belum bisa diselesaikan secara tintas. Begitu juga penyakit-penyakit social lainnya.
Mempelajari filsafat (termasuk Filsafat Bahasa) adalah berlatih secara serius untuk mampu menyelesaikan suatu persoalan yang sedang dihadapi dengan cara mencari jawaban secara radik (tuntas) dan logis. Seseorang tidak akan memiliki kemampuan seperti ini jika ia tidak melatihnya.
Selain manfaat yang telah disebutkan, terdapat beberapa manfaat lain yang bisa dirasakan jika kita mempelajari filsafat (termasuk didalamnya filsafat bahasa). Diantaranya[9] :
1.      Menambah pengetahuan baru.
2.      Mampu berpikir logis.
3.      Biasa berpikir analitik dan kritis.
4.      Terlatih untuk menyelesaikan masalah secara kritis, analistis dan logis.
5.      Melatih berfikir jerih dan cerdas.
6.      Melatih berfikir objektif.


[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1988, Cet. Ke-1)hlm. 66-67
[2] Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya,  2006 ) hlm.
[3] Asep Ahmad Hidayat, Opcit, hlm. 30
[4] Ibid, hlm. 31
[5] Asep Ahmad Hidayat, Opcit, hlm. 12
[6] Ibid, hlm. 13
[7] Asep Ahmad Hidayat, Opcit, hlm. 13
[8] Ibid, hlm. 13
[9] Opcit, hlm. 17